Daftar Blog Saya

Rabu, 20 Juni 2012

MENGAPA BELAJAR FILSAFAT?


FILSAFAT DALAM PRAKTEK

  1. MENGAPA BELAJAR FILSAFAT

Seorang penyair Persia pernah membandingkan alam raya dengan sebuah buku kuno, yang kehilangan halaman-halaman pertama dan halaman-halaman terakhirnya. Sepanjang sejarah, bangsa manusia terus menerus mencari halaman-halaman yang hilang itu. Setiap kali kalau ilmu pengetahuan menemukan beberapa halaman yang hilang itu, pengetahuan kita tentang alam raya menjadi sedikit lebih luas. Tetapi anehnya, jumlah halaman yang hilang kelihatannya tetap sama. Sebabnya, kendati semua penemuan ilmu pengetahuan itu, pertanyaan-pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang makna hidup, tentang kita sendiri, masih tetap belum terjawab.

Banyak orang sudah mencoba mengisi halaman-halaman yang hilang ini. Macam-macam teori dikemukakan. Macam-macam pendapat di ajukan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang melewati bats-batas kemungkinan pengetahuan kita. Filsafat menyelidiki pendapat-pendapat ini. Filsafat merupakan suatu ”forum”, suatu lapangan diskusi yang sama sekali bebas. Usaha filsafat, yaitu ”mencari hikmat di tengah semua pwengetahuan”, kelihatannya sesuatu yang kurang bermakna, karena telah sekian banyak abad sejarah hampir tidak ada hasil konkret.

Filsafat, yang tidak memperlihatkan kemajuan, lebih mirip dengan seni dari pada dengan ilmu pengetahuan. Semua filsuf memberikan jawaban-jawaban yang bersifat sangat pribadi. Tema-tema yang dipilih sudah merupakan suatu seleksi yang sangat subyektif. Suatu tulisan falsafi merupakan ”kacamata”sanagat pribadi untuk melihat dunia. Seperti halnya setiap pelukis mengungkapkan suatu cara melihat tertentu, demikian juga setiap fisuf memberikan suatu interpretasi pribadi tentang kenyataan. Sejarah filsafat kelihatannya seperti suatu museum yang memuat koleksi-koleksi raksasa dari interpretasi-interpretasi mengenai dunia.

Interpretasi-interpretasi ini, cara-cara untuk melihat hidup dan dunia, tetap aktual. disini terletak suatu perbedaan besar antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejarah suatu ilmu tertentu kurang penting bagi manusia dewasa ini karena pendapat-pendapat ”ilmiah” dari masa lampau menjadi ”pra ilmiah” atau ”kekeliruan” setelah tercapai suatu tahap yang paling dewasa. Setiap langkah baru dalam perkembangan suatu ilmu berarti bahwa langkah yang lebih awal kehilangan aktualitasnya. Lain halnya dengan filsafat, pendapat-pendapat masa kini tentang ”pertanyaan-pertanyaan terakhir”, pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan, tidak lebih baik atau lebih benar daripada pendapat-pendapat dari ratusan atau ribuan tahun yang lalu. Pertanyaan-pertanyaan falsafi semua orang dari segalah zaman dan semua sudut dunia kelihatannya sama tua dan sama pandai atau bodoh.

Berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan terakhir, sejarah filsafat menjadi relevan bagi kita semua karena yang dikatakan pemikir-pemikir besar sejarah tidak terikat pada suatu zaman tertentu. Yang dikatakan dalam Upanisad, dalam tulisan-tulisan konfusius, Plato, atau Aristoteles, masi tetap menolong untuk menentukan sikap kita. Ditengah segalah interpretasi yang dikemukakan mengenai dunia dan manusia, dan di tengah semua abtraksi dari ilmu-ilmu yang makin terspesialisasikan, dibutuhkan suatu refleksi yang memperhatikan keseluruhan, yang menekankan kebebasan, akal budi, dan keterbukaan. Refleksi ini mencoba untuk menempatkan pikiran-pikiran kita dalam perspektif yang betul. Refleksi di uraikan dengan bagus oleh sejumlah pemikir zaman kita, seperti Karl Popper, Gabriel Marcel, dan Alfred North Whitehead.

  1. TUGAS FILSAFAT MENURUT PARA FILSUF

Karl Popper. Tugas filsafat sekarang ini, menurut Sir Karl Popper (lahir di Wina 19023, mengajar filsafat di inggris, selandia baru dan amerika serikat), lebih-lebih ”berpikir kritis” tentang alam raya dan tentang tempat manusia didalamnya; berpikir tentang kemampuan-kemampuan pengetahuan kita dan kemampuan-kemampuan kita terhadap kebaikan dan kejahatan ”(K.Popper , ”How l see Philosophy”, dalam : Ch. Bontem-po-S. Jack Osdell, The Owel Of Minerva, Philosophers On Philodsophy, New York 1975, hal.55).

Hidup kita di dunia ini­- sebuah planet kecil dalam kosmos yang sebagian bedar kosong – merupakan suatu misteri besar. Hidup mempunyai nilai sebagai sesuatu yang sangat istimwea, hidup ini mahal. Kita cendrung untuk melupakan itu dengan memandangnya sebagai sesuatu yang murah.

”Semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai dalah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada orang yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup ini akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang sebaliknya juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa – kalau hidup tidak akan berakhir – hidup tanpa harga, dan bahaya yang selalu hadir, yaitu kita dapat kehilangan hidup, sekurang-kurangnya ikut menolong untuk menyadari nilai dari hidup”. (K. Popper, ibid. Hlm.55)

Gabriel Marcel, lahir di Paris 1889 dan meninggal 1973, mwelihat filsafat sebagai Reconnaissance. Kata Perancis reconnaissance berarti ”mengingat”, ”mengakui”, ”menyelidiki, dan ”betrimah kasih” atau ”penghargaan”. Kedua arti dari reconnaissance ini (inggris : recognition dan acknowledgement) memperlihatkan kedua dimensi pengetahuan manusia : masa lampau dan masa depan.

Terhadap masa lampau kita harus berterimah kasih, mengakui bahwa kita berutang. Reconnaissance ini dilupakan oleh para teknokrat dan ideologi karena mereka hanya memilih salah satu unsur atau ajaran dari seluruh warisan sejarah filsafat. Dan bagian kecil ini, masalnya ajaran Marx – kemudian didewakan. Sikap ini berarti suatu devaluasi dari semua sistem yang mendahului sistem satu-satunya yang di dewakan itu.

Terhadap masa depan kita harus terbuka ; siap untuk menyelidiki dan untuk menerimah.

Tugas filsafat sekarang ini, kata Gabriel marcel, terdiri dari kedua jenis reconnaissance ini ; sikap penghargaan dan keterbukaan, kerelaan untuk menerimah, acceptance. Dengan demikian, filsafat menjadi suatu re-thinking, suatu refleksi kedua yang dapat mengatasi jurang yang dialami manusia dalam zaman kita, yaitu jurang antara sikap teknis dan analitis di satu pihak dan dilain pihak.

Gabriel marcel mengemukakan sesuatu yang sangat klasik. Plato sudah mengajarkan bahwa ” mengetahui” sebenarnya ”mengingat”, dan Heidegger mengatakan bahwa ”berpikir” (Jerman ; denken, Inggris ; to think) harus bersifat ”berterimah kasih” (Jerman ; danken, Inggris ; to thank). Berpikir itu adalah sesuatu yang di anugerahkan kepada kita, sesuatu yang harus di hargai dan di terimah.

ALFRED NORTH  WHITEHEAD (1861-1947) mengajar matematika dan filsafat di Cambridge, inggris dan di Havard, Amerika Serikat. Ia menguraikan tugas-tugas filsafat dengan kata-kata ini ; filsafat itu bukan salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. ”filsafat itu pemeriksaan (survey) atas ilmu-ilmu, dan tujuan khusus dari filsafat adalah menyelaraskan ilmu-ilmu dan melengkapinya”

Filsafat mempunyai dua tugas ; menekankan bahwa abstraksi-abstraksi dari ilmu-ilmu betul-betul bersifat abstraksi (maka tidak merupakan keterangan yang menyeluruh), dan melengkapi ilmu-ilmu dengan cara membandingkan hasil ilmu-ilmu dengan pengetahuan intuitif mengenai alam raya, pengetahuan yang lebih konkret, sambil mendukung pembentukan skema-skema berpikir yang menyeluruh.

Definisi Whitehead ini – filsafat sebagai survey of science – diterimah oleh banyak orang dewasa ini. Definisi Whitehead dapat diperluas sedikit ; filsafat tidak hanya survey of science, melainkan juga survey (atau re thinking) atas semua ideologi, semua interpretasi mengenai dunia, dan seluruh kenyataan manusiawi.

Ketiga uraian dari Popper, marcel, dan Whitehead dapat dibaca sabagai satu definisi : tugas filsafat itu adalah berpikir kritis tentang alam raya dan tentang tempat kita didalamnya (Popper), re thinking dengan sikap keterbukaan dan penghargaan (Marcel), penyelidikan kritis mengenai hasil ilmu-ilmu abstrak untuk mencapai suatu gambaran yang lebih menyeluruh (Whitehead).

Istilah-istilah lain yang sekarang sering terdengar dalam uraian-uraian mengenai tugas filsafat antara lain ”re-interpretasi kenyataan manusiawi”, ”penciptaan suatu bahasa umum yang dapat dipakai sebagai bagian umum dari semua ilmu khusus”, ”dialog yang mendamaikan abstraksi-abstraksi dan spesialisme ilmu-ilmu”.

Tidak begitu penting uraian mana yang di pilih. Yang terpenting adalah adanya suatu sikap keterbukaan. Cakrawala pengetahuan kita semakin luas, namun kita tidak boleh melupakan bahwa pengetahuan yang luas ini tidak pernah utuh. Kita tidakmemiliki kebenaranm filsafat mencari kebenaran, dan itu mulai dengan menyadari betapah sedikit yang sungguh kita ketahui.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar