Daftar Blog Saya

Kamis, 21 Juni 2012

SISTEM SOSIAL BUDAYA ETNIS LAMAHOLOT


GADING SEBAGAI MAS KAWIN MASYARAKAT ETNIS LAMAHOLOT DI KABUPATEN FLORES TIMUR PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR.

(Artikel ini di ajukan di IKIP BU Malang)


Yohanes Muli Bura

ABSTRAK : Tradisi meminang gadis dikalangan etnis Lamaholot memang unik, karena mas kawin (belis) yang menjadi syarat dalam suatu perkawinan adalah gading, walaupun masyarakat setempat tidak memelihara gajah. Makna gading dikalangan masyarakat Lamaholot merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang perempuan yang akan dinikahi. Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri, atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis. Status sosial menjadi ukuran menentukan jumlah dan ukuran gading. Jika calon istri berasal dari keluarga dengan status sosial tinggi, jumlah gading jauh lebih banyak dan lebih panjang. Kalau anak gadis berasal dari keluarga sederhana, jumlah dan ukuran gading bisa dikompromikan. Ukuran gading dinyatakan dalam bentuk depa tangan orang dewasa, bukan dalam bentuk meter. Ukuran gading dari paling besar sampai paling kecil dalam bahasa Lamaholot dinamakan : bala bellen, bala kellikene, bala kewayane dan bala ina umene.
 Kata Kunci : Gading, Mas Kawin, Etnis Lamaholot.
Dalam tradisi, di tengah rangkaian atau tahapan perkawinan adat di Nusa Tenggara Timur, dikenal pembayaran belis atau mas kawin. Tahapan ini dilaksanakan sesudah tahapan peminangan dengan membawa sirih pinang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Selanjutnya pembayaran belis, baru kemudian dilaksanakan upacara perkawinan.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT) belis merupakan unsur penting dalam lembaga perkawinan. Selain dipandang sebagai tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur, di satu sisi merupakan bentuk penghargaan terhadap perempuan, juga sebagai pengikat pertalian kekeluargaan. Belis pun dianggap sebagai simbol untuk mempersatukan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. Belis juga dianggap sebagai syarat utama pengesahan berpindahnya suku perempuan ke suku suami.
Adapun ragam belis dapat berupa emas, perak, uang, maupun hewan. Belis berupa hewan umumnya kerbau, sapi, atau kuda. Di daerah tertentu belis berupa barang khusus. Di Kabupaten Sikka dan Flores Timur belis biasanya berupa gading gajah. Besarnya belis antara lain ditentukan oleh status sosial pihak perempuan, termasuk pendidikannya. Semakin tinggi status sosialnya, akan semakin tinggi belisnya. Namun, besar belis bisa juga bergantung sejauh mana hasil perundingan antara pihak perempuan dan laki-laki.Dari pihak perempuan, yang turut mendapatkan belis adalah orangtua perempuan, paman, kakak, maupun tetua adat setempat. Dengan demikian, jika pada keluarga perempuan memiliki banyak paman, maupun kakak, belis yang akan diberikan pihak laki-laki relatif besar. Sampai sekarang perkawinan adat ini masih dipegang kuat.
Di Kabupaten Flores Timur yang meliputi  flores daratan (daerah ujung timur pulau flores), dan tiga buah pulau yakni pulau adonara, pulau solor dan pulau lembata/Lomblen, bisa kita jumpai suatu tradisi dari masyarakat Lamaholot adalah sistem perkawinan (patrilineal) Dimana mas kawin(belis/bahasa lamaholot disebut Welin) seorang wanita dinyatakan dalam bentuk gading gajah (dalam bahasa lamaholot = Bala). Adat istiadat ini dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu dan masih dilaksanakan sampai sekarang. Belis seorang gadis (kebarek = bahasa lamaholot) untuk kaum bangsawan (Ata Kebel’en = bahasa lamaholot) biasanya lima gading dan untuk masyarakat biasa 3 gading (Bala) dan selain gading, diberikan juga sebagai barang penyertanya yang wajib diberikan adalah sarung tenun sutera (dalam bahasa Lamaholot disebut Lodan) merupakan barang antik bagi kalangan masyarakat Lamaholot. Bagaimanakah praktek kehidupan sosial budaya masyarakat lamaholot dalam tradisi adat perkawinan yang berlaku dalam masyarakat Adonara-lamaholot? Tujuannya adalah untuk lebih memahami tentang sistem sosial budaya masyarakat lokal, khususnya masyarakat Lamaholot di kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
PEMBAHASAN
Perkawinan sebagai suatu peristiwa sosial yang luas, tidak hanya melibatkan dua orang yang akan kawin semata. Perkawinan setidaknya melibatkan dua keluarga, orang yang berinisiatif untuk kawin harus memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan oleh budayanya. Syarat-syarat perkawinan meliputi: Mas kawin/bride price, Pencurahan tenaga untuk kawin/bride-services, Pertukaran gadis/bride-exchange (Pujileksono, 2009 ; 43).
Dari ketiga syarat-syarat perkawinan yang tersebut diatas, syarat pertama yaitu mas kawin/bride price yang paling dominant dipraktekan pada masyarakat lamaholot, khususnya masyarakat yang berada di pulau adonara. Oleh sebab itu dalam pembahasan ini saya memaparkan syarat-syarat mas kawin/ belis dan tata cara adat dalam sebuah proses perkawinan yang ada dalam masyarakat adonara.
Mas kawin/bride price adalah merupakan sejumlah harta/materi yang diberikan laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya dan atau kepada kerabatnya. Mas kawin/bride-price yang dalam bahasa lamaholot disebut Welin, dan welin ini berupa gading gajah yang merupakan suatu syarat mutlak yang harus diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak dinikahinya.
Dalam sistem sosial budaya masyarakat lamaholot pada umumnya dan masyarakat Adonara pada khususnya, mempunyai satu corak keistimewaan yaitu sistem perkawinan, dimana belis untuk seorang gadis (Kebarek) itu adalah Gading. Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Pulau Adonara sekarang ini masih dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga kekerabatan, harga diri perempuan, dan nilai ekonomis yang tinggi.
Meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes sampai ke pelosok-pelosok desa di Pulau Adonara, mas kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka. Kehidupan orang Adonara secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat.
Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri, atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis (Abnersanga, wordpress.com).
Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang gadis yang hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan yang dimiliki sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin gading gajah kepada keluarga wanita pertanda membangun suasana harmonis bagi kehidupan sosial budaya setempat. Pernikahan gadis asal Adonara selalu ditandai dengan pembicaraan mas kawin gading gajah (Abnersanga,wordpress.com)
Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis gading (dalam bahasa lamaholot, gading = bala). Namun, jika sang pria menikahi perempuan yang masih berhubungan darah dengannya, maka dia akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga totalnya menjadi tujuh jenis gading (Ata Kebel’en = kaum bangsawan). Kelima jenis gading itu adalah, pertama, bala belee (gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa orang dewasa. Kedua, bala kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan), kewayane (setengah depa sampai siku), ina umene (setengah depa sampai batas bahu), dan opu lake (setengah depa, persis belah dada tengah). Dua jenis gading tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda ukurannya ditentukan sesuai dengan kesepakatan (Adonarakita.blogspot.com).
Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah depa, satu depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan kiri ke ujung jari tengah tangan kanan).
Juru bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata cara pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan mengakhiri setiap pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama.
Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi keluarga wanita. Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria menikahi gadis pujaannya. Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih memiliki hubungan kekerabatan, yang sering disebut anak om atau tanta.
Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering bertentangan dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal tersebut juga dibahas pada saat koda pake, pembahasan resmi mengenai adat perkawinan antara keluarga besar calon pengantin pria dan keluarga besar calon pengantin wanita.
Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama calon pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua calon pengantin membangun rumah tangga baru. Jika ada pengakuan terbuka di hadapan kedua pihak orangtua, pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake. Pada Koda Pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan.
Penyerahan gading berlangsung pada tahap Pai Napa. Pada acara ini pihak pria menyerahkan mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan, dan minuman arak. Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas yakni kewatek Lodan (sarung tenunan sutra asli). Selain itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok makan (Abnersanga.wordpress.com). Meski tidak dipatok dalam proses Pai Napa, pemberian dari pihak wanita kepada keluarga pria merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading.
Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero. Artinya, gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak keluarga wanita, dan pada malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya (Abnersanga.wordpress.com). Kehadiran gading itu hanya sebagai simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak wanita tidak harus memiliki gading tersebut. Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis Lamaholot adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Bali.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Masyarakat etnis lamaholot yang berada di kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tengga Timur memiliki tradisi pembayaran mas kawin atau belis berupa gading gajah yang harus diberikan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai status sosial dari perempuan yang dinikahi. Makna gading bagi masyarakat etnis Lamaholot merupakan simbol penghargaan terhadap pribadi seorang wanita serta sebagai pengikat dan membangun suatu hubungan antara kedua bela pihak bukan antara pihak laki-laki dan perempuan saja, tetapi meliputi keluarga besar dalam suatu klan.
 Saran
Masyarakat Lamaholot sangat memegang teguh adat istiadat yang merupakan warisan nenek moyangnya, diantaranya adalah gading sebagai mas kawin masyarakat Lamaholot. Gading sebagai mas kawin merupakan suatu tuntutan adat yang harus dipenuhi setiap kaum laki-laki hendak menikah, dan harga sebatang gading juga sangat mahal hingga mencapai Rp.75 juta perbatang, hal ini sangat memberatkan. Sesuai permasalahan tersebut, alangkah baiknya disederhanakan saja, dan proses penyederhanaan ini perlu juga ada suatu musyawarah besar dikalangan masyarakat etnis Lamaholot untuk bisa mengambil suatu kebijakan yang lebih baik untuk bisa menetapkan suatu cara-cara yang lebih praktis, dengan melihat perkembangan jaman tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam filosofis masyarakat Lamaholot.

DAFTAR RUJUKAN
Pujileksono, S. 2006. Pengantar Antropologi. Malang : UMM Press
                                    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar